Monday, April 6, 2015

urinaria



BAB I
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Sistem Urinaria

2.1.1 Pengertian Sistem Urinaria
Sistem urinaria adalah sistem dimana urin sebagai zat sisa dalam tubuh di eksresikan keluar tubuh (Martini, 2009).
Sistem urinaria terdiri dari organ-organ yang memproduksi urin dan mengeluarkannya dari tubuh. Sistem  ini merupakan salah satu sistem utama untuk mempertahankan hemostatis (kekonstanan lingkungan internal) (Sloane, 2004).

2.1.2 Struktur Sistem Urinaria dan Fungsinya
2.1.2.1 Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal, di sebelah kanan dan kiri tulang belakang, di bungkus lapisan lemak yang tebal, di belakang peritoreum, dan karena itu di luar rongga peritoneum
Kedudukan ginjal dapat diperkirakan dari belakang, mulai dari ketinggian vertebrataterokalis terakhir sampai lumbalis ketiga.Ginjal kanan lebih sedikit lebih rendah dari kiri, karena hati menduduki banyak ruang di sebelah kanan (Pearce, 2010).
Setiap ginjal panjangnya 6-7.5 sentimeter, dan tebal 1,5 sampai 2,5 cm. Pada orang dewasa beratnya sekitar 140 gram (Pearce, 2010).
                        Fungsi ginjal :
1.      Pengeluaran zat sisa organik, ginjal mengeksresi urea, asam urat, kreatinin, dan produk pengurasian hemoglobin dan hormon.
2.      Pengaturan konsentrasi ion-ion penting, ginjal mengeksresi ion natrium, kalsium, magnesium, sulfat, dan fosfat.
3.      Pengaturan keseimbangan asam basa tubuh, ginjal mengendalikan eksresi ion hidrogen, bikarbonat, dan amonium serta memproduksi urine asam basa bergantung pada kebutuhan tubuh.
4.      Pengaturan produksi sel darah merah, ginjal melepas eritropoletin yang mengatur produksi sel darah merah dalam sumsum tulang.
5.      Pengaturan tekanan darah, ginjal mengatur volume cairan yang esensial bagi pengaturan tekanan darah, dan juga memproduksi enzim renin, renin adalah komponen penting dalam mekanisme renin angiotensin-aldosteron yang meningkatkan tekanan darah dan retensi air.
6.      Pengendalian terbatas terhadap konsentrasi glukosa darah dan asam amino darah, ginjal melalui eksresi glukosa dan asam amino berlebih, bertanggung jawab atas konsentrasi nutrien dalam darah.
7.      Pengeluaran zat beracun, ginjal mengeluarkan polutan zat tambahan makanan, obat-obatan, atau zat kimia asing lain dari tubuh.
v  Struktur internal ginjal
1.      Hilus
Hilus atau hilum adalah tingkat kecekungan tepi medial ginjal.
2.      Sinus Ginjal
Merupakan rongga berisi lemak yang membuka pada hilus. Sinus ini membentuk perlekatan untuk jalan masuk dan keluar ureter, vena dan arteri renalis, saraf dan limfatik.
3.      Pelvis Ginjal
Merupakan perluasan ujung proksimal ureter. Ujung ini berlanjut menjadi dua sampai tiga kaliks mayor. Yaitu rongga yang mencapai glandular, bagian penghasil urine pada ginjal. Setiap kaliks mayor bercabang menjadio beberapa (8 sampai 18) kaliks minor.

4.      Parenkim Ginjal
Merupakan jaringan ginjal yang menyelubungi struktur sinus ginjal. Jaringan ini terbagi menjadi medula dalam dan korteks luar. Medula terdiri dari massa-massa triangular yang disebut piramida ginjal. Korteks tersusun dari tubulus dan pembuluh darah nefron yang merupakan unit struktural dan fungsional ginjal (Sloane, 2004).
v  Struktur Nefron
1)      Glomerulus
Bagian ini mengandung anyaman kapiler yang terleta didalam kapsul bowman dan menerima darah dari arteriola aferen dan meneruskan darah ke sistem vena melalui arterior aferen. Glomerulus berdiameter 200 mm, dibentuk oleh invagiansi suatu anyaman kapiler yang menempati kapsula bowman dimana cairan difiltrasikan.
Glomerulus dan kapsul bowman bersama- sama membentuk sebuah korpuskel ginjal. Lapisan viseral kapsula bowman adalah lapisan internal epitelium. Sel-sel lapisan viseral dimodifikasi menjadi podosit (sel seperti kaki), yaitu sel-sel epitel khusus disekitar kapiler glomerular. Setiap sel podosit melekat pada permukaan luar kapiler glomerular melalui beberapa prosesus primer panjang yang mengandung prosesus sekunder yang disebut prosesus kaki atau pedikel (kaki kecil). Pedikel saling mengunci dengan prosesus yang sama dari podosit tetangga. Ruang sempit antar pedikel-pedikel yang berinterdigitasi disebut filtration slits (pori-pori dari celah) yang lebarnya sekitar 25 nm. Setiap pori dilapisi membran tipis yang memungkikan aliran beberapa molekul dan menahan aliran molekul lainnya. Barier filtrasi glomerular adalah barier jaringan yang memisahkan darah dalam kpiler glomerular dari ruang dalam kapsul bowman.
Lapisan parietal kapsul bowman membentuk tepi terluar korpuskel ginjal. Pada kutub vaskular korpuskel ginjal, arteriola aferen masuk ke glomerulus dan arteriol eferen keluar dari glomerulus. Pada kutub urinarius korpuskel ginjal, glomerulus memfiltrasi aliran yang masuk ke tubulus kontortus proksimal.
2)      Tubulus kontortus proksimal
Panjangnya mencapai 15 mm dan sangat berliku. Pada permukaan yang menghadap lumen tubulus ini terdapat sel-sel epitelial kuboid yang kaya akan mikrovilus (brush border) dan memperluas area permukaan lumen.
3)      Ansa henle
Tubulus kontortus proksimal mengarah ke tungkai desenden ansa henle yang masuk kedalam medula, membentuk lengkungan jepit yang tajam (lekukan), dan membalik keatas membentuk tungkai asenden angsa henle.
4)      Tubulus kontortus distal
Juga sangat berliku, panjangnya sekitar 5 mm dan membentuk segmen terakhir nefron. Disepanjang jalurnya tubulus ini bersentuhan dengan dinding arteriol aferen. Bagian tubulus yang bersentuhan dengan arteriol mengandung sel-sel termodifikasi yang disebut macula densa. Macula densa berfungsi sebagai suatu kemoreseptor dan distimulasi oleh penurunan ion natrium. Dinding arteriol aferen yang bersebelahan dengan macula densa mengandung sel-sel otot polos yang termodifikasi yang disebut sel jukstaglomerular. Sel ini distimulasi melalui penurunan tekanan darah untuk memproduksi renin. Macula densa, sel jukstaglomerular, dan sel mesangium saling bekerjasama untuk membentuk aparatus jukstaglomerular yang penting dalam pengaturan tekanan darah.
5)      Tubulus pengumpul
Karena setiap tubulus pengumpul berdesenden di korteks, maka tubulus tersebut akan mengalir kesejumlah tubulus kontortus distal. Tubulus kontortus distal membentuk duktus pengumpul besar yang lurus.  Duktus pengumpul membentuk tuba yang lebih besar yang mengalirkan urine kedalam kaliks minor. Kaliks minor bermuara pada pelvis ginjal, urine diarahkan ke ureter yang mengarah ke kandung kemih (Sloane, 2004).
2.1.2.2 Ureter
Terdapat dua ureter berupa dua pipa saluran yang masing-masing bersambung dengan ginjal dan dari ginjal berjalan ke kandung kemih. Tebal setiap ureter kira-kira setebal tangkai bulu angsa dan panjangnya 35-40cm. Terdiri atas dinding luar yang fibrous,lapisantengah yang berotot dan lapisan mukosa sebelah dalam. Ureter mulai sebagai pelebaran hidung ginjal dan berjalan ke bawah melalui rongga abdomen masuk ke dalam pelvis dan dengan arah bolak-balik bermuara ke dalam sebelah posterior kandung kemih.Fungsi ureter adalah menyalurkan urin dari ginjal ke kandung kemih (Pearce C. Evelyn, 2011).

2.1.2.3 Kandung Kemih
Kandung kemih bekerja sebagai penampung urin, organ ini berbentuk buah pir (kendi).Letaknya di dalam panggul besar,didepan isi lainnya dan di belakang sinfisis kubis. Pada bayi letaknya lebih tinggi.Bagian terbawah terpancang erat dan disebut basis, bagian atas atau fundus naik kalau kandung memekar atau mengembang karena urin. Puncaknya atau apeks mengarahke depan bawah dan ada di belakang sinfisis kubis(Pearce C. Evelyn, 2011).
Menurut Evelyn (2011), dinding kandung kemih terdiri atas:
1. Sebuah lapisan serus sebelah luar
2. Lapisan berotot
3.Lapisan sub mukosa
4. Lapisan mukosa dari epithelium transisional (peralihan).
Fungsi kandung kemih adalah untuk menampung urin yang disalurkan ureter dari ginjal (Pearce C. Evelyn, 2011).

2.2.2.4 Uretra
Uretra ialah sebuah saluran yang berjalan dari leher kandung kemih ke luar, dilapisi membran mukosa yang bersambung dengan membran yang melapisi kandung kemih.Meatus urinalis terdiri dari serabut otot lingkar, yang membentuk spinter uretra. Pada wanita panjang uretra adalah 2,5-3,5 cm. Dan padapria 17-22 cm. Fungsi uretra adalah mengeluarkan urin dari kandung kemih  (Pearce C. Evelyn, 2011).





2.1.3 Fisiologi Pembentukan Urin
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam ginjal, darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah.
Ada 3 tahap pembentukkan urin, yaitu:
a.       Proses Filtrasi
Proses filtrasi terjadi di glomerolus, proses ini terjadi karena permukaan aferent lebih besar dari permukaan eferent maka terjadi penyerapan darah, sedangkan yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein, cairan yang tersaring ditampung oleh sampai bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dan lain-lain, kemudian diteruskan di tubulus ginjal (Sloane, 2004).
b.    Proses Reabsorpsi.
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat, dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan obligator reabsorbsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali penyerapan dan sodium dan ion bikarbonat, bila diperlukan akan diserap kembali kedalam tubulus bagian bawah, penyerapannya terjadi secara aktif dikenal dengan reabsorbsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.
c.    Proses Sekresi
Pada proses sekresi, sisa penyerapan kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan keluar (Sloane, 2004).

2.1.4 Komposisi Urin
a.    Zat buangan nitrogen meliputi urea dari deaminasi protein, asam urat dari katabolisme asam nukleat, dan kreatin dari proses penguratan kreatin fosfat dalam jaringan otot.
b.    Asam hipurat adalah produk sampingan pencernaan sayuran dan buah.
c.    Badan keton yang dihasilkan dalam  metabolisme lemak adalah konstitusien normal dalam jumlah kecil.
d.   Elektrolit meliputi ion natrium, klor, kalium, amonium, sulfat, fosfat, kalsium, dan magnesium.
e.    Hormon atau katabolit hormon ada secara normal dalam urin.
f.     Berbagai jenis taksin atau zat kimia asing, pigmen, vitamin, atau enzim secara normal ditemukan dalam jumlah kecil.
g.    Konstituen abnormal meliputi albumin, glukosa, sel darah merah, sejumlah besar badan keton, zat kapur (terbentuk saat zat mengeras dalam  tubulus dan dikeluarkan), dan batu ginjal atau kalkuli (Sloane, 2004).








2.1.5 Sifat Fisik Urin
Secara umum, sifat fisik urine yang tampak dan relatif mudah diobservasi meliputi : warna, bau, pH (alkalinitas), berat jenis, dan volume rata-ratanya.
a.    Warna
Urine normal berwujud encer berwarna kuning pucat. Warnanya berubah-ubah dengan jumlah dan konsentrasi urine yang dikeluarkan. Urine segar biasanya jernih dan menjadi keruh jika didiamkan. Pigmen utamanya adalah urokrom, tetapi juga terdapat sejumlah kecil urobilin dan hematoporfin. Saat demam, terjadi pemekatan urine, urine menjadi kuning tua hingga kecoklatan.

b.    Bau
Urine memiliki bau yang khas dan cenderung berbau amonia jika didiamkan. Bau ini dapat bervariasi sesuai dengan makanan yang dikonsumsi, misalnya : aspargus memberikan bau metil merkaptan, pada ketosis ditemukan bau aseton.
c.       Alkalinitas (pH)
Urin normal cenderung asam dengan pH ntara 4,8 – 7,5 (<6). Tingkat keasaman urine bergantung pada asupan protein. Kelebihan fosfat dan sulfat yang dihasilkan dalam katabolisme protein, asidosis, dan kondisi demam dapat meningkatkan keasaman urine.


d.      Berat jenis
Berkisar antara 1,003–1,030 dan bervariasi menurut konsentrasi zat yang terlarut dalam urine.
e.       Volume
Pada orang dewasa normal, 600–2500 ml urine dibentuk tiap harinya. Jumlah ini tergantung pada konsumsi air, suhu luar, makanan, dan kondisi fisik. Volume urine berkurang saat musim panas karena pengeluaran urine berbanding terbalik dengan pengeluaran keringat. Urine yang dibentuk selama tidur kira-kira setengah dari jumlah urine yang dibentuk selama aktivitas (William, 2002).

2.1.6 Syaraf yang Mempengaruhi Sistem Urinaria
Kandung kemih mendapat persyarafan utama dari syaraf-syaraf pelvis, yang berhubungan dengan medulla spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhubungan dengan segmen S-2 dan S-3 dari medulla spinalis.Perjalanan melalui syaraf pelvis terdapat dalam 2 bentuk persyarafan yaitu serabut syaraf sensorik dan syaraf motorik.Serabut sensorik mendeteksi derajat regangan dalam dinding kandung kemih.Sinyal – sinyal regangan khususnya dari uretra posterior merupakan sinyal yang kuat dan terutama berperan untuk memicu refleks pengosongan kandung kemih.
Persyarafan motorik yang dibawa dalam syaraf-syaraf pelvis merupakan serabut parasimpatis.Syaraf ini berakhir di sel ganglion yang terletak di dalam dinding kandung kemih. Kemudian syaraf-syaraf postganglionic yang pendek akan mempersyarafi otot detrusor.
Selain syaraf pelvis, terdapat dua jenis persyarafan lain yang penting untuk mengatur fungsi kandung kemih. Yang paling penting adalah serabut motorik skeletal yang dibawa melalui syaraf pudensus ke sfingter eksterna kandung kemih.Syaraf ini merupakan serabut syaraf somatik yang mempersyarafi dan mengatur otot rangka volunter pada sfinger tersebut.Kandung kemih juga mendapatkan persyarafan simpatis dari rangkaian simpatis melalui syaraf-syaraf hipogastrik, yang terutama berhubungan dengan segmen L-2 dari medulla spinalis. Serabut simpatis ini terutama merangsang pembuluh darah dan memberi sedikit efek terhadap proses kontraksi kandung kemih. Beberapa serabut sayraf sensorik juga berjalan melalui persyarafan simpatis dan mungkin penting untuk sensasi rasa penuh dan nyeri (Guyton dan Hall, 2008).








2.1.7 Hormon yang Mempengaruhi Sistem Urinaria
Ada suatu sistem umpan balik yang kuat untuk mengatur osmolaritas plasma dan konsentrasi natrium, yang bekerja dengan cara mengubah ekskresi air oleh ginjal, dan tidak bergantung pada kecepatan ekskresi zat terlarut. Pelaku utama dari sistem umpan balik ini adalah hormon antidiuretik (ADH), yang juga disebut vasopressin.
Bila osmolaritas cairan tubuh meningkat diatas normal (yaitu zat terlarut dalam cairan tubuh menjadi terlalu pekat), kelenjar hipofisis posterior akan menyekresi lebih banyak ADH, yang meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan duktus koligentes terhadap air. Keadaan ini memungkinkan terjadinya reabsorpsi air dalam jumlah besar dan penurunan volume urin tetapi tidak mengubah kecepatan ekskresi zat terlarut oleh ginjal secara nyata.
Bila terdapat kelebihan air didalam tubuh dan osmolaritas cairan eksternal menurun, sekresi ADH oleh hipofisis posterior akan menurun oleh sebab itu, permeabilitas tubulis distal dan duktus kolegentes terhadap air akan menurun, yang menghasilkan sejumlah besar urin encer. Jadi kecepatan sekresi ADH sangat menentukan encer atau pekatnya urin yang akan dikeluarkan oleh ginjal (Guyton dan Hall, 2008).

2.1.8 Gangguan Sistem Urinaria
1.    Sistitis, adalah  inflamasi kandung kemih. Inflamasi ini dapat disebabkan oleh infeksi bakteri (biasanya Eschericia coli) yang menyebar dari uretra atau karena respon alergi atau akibat iritasi mekanis pada kandung kemih. Gejalanya adalah sering berkemih dan nyeri ( disuria) yang disertai darah dalam urin (hematuria).
2.    Glomerulonefritis adalah inflamfsi nefron, terutama pada glomerulus.
a.    Glomerulonefritis akut, seringkali terjadi akibat respon imun terhadap toksin bakteri tertentu ( kelompok Streptococcus beta A).
b.    Glomerulonefritis kronik, tidak hanya merusak glomerulus tetapi juga tubulus. Inflamasi ini mungkin diakibatkan infeksi Streptococcus, tetapi juga merupakan akibat sekunder dari penyakit sistemik lain atau karena glomerulonefritis akut.
3.    Pielonefritis adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal akibat infeksi bakteri. Inflamasi dapat berawal di traktus urinaria bawah ( kandung kemih) dan menyebar ke ureter, atau karena infeksi yang dibawa darah dan limfe ke ginjal. Obstruksi traktus urinaria terjadi akibat pembesaran kelenjar prostat, batu ginjal, atau defek kongenital yang memicu  terjadinya piolenefritis.
4.    Batu ginjal (kalkuli urinaria), terbentuk dari pengendapan garam kalsium, magnesium, asam urat, atau sistein. Batu-batu kecil dapat mengalir bersama urin, batu yan g lebih besar akan tersangkut dalam ureter dan menyebabkan rasa nyeri dan tajam (kolik ginjal) yang menyebar dari ginjal ke selangkangan.
5.    Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Hal ini mengakibatkan terjadinya retensi garam, air, zat buangan nitrogen ( urea dan kreatinin) dan penurunan drastis volume urin (oliguria).
a.    Gagal ginjal akut terjadi secara tiba-tiba dan biasanya berhasil diobati. Penyakit ini ditandai dengan oliguria mendadak yang diikuti dengan penghentian prokduksi urin (anuria) secara total. Hal ini disebabkan oleh penurunan aliran darah ke ginjal akibat trauma atau cedera, glomerulonefritis akut, hemoragi, transfusi darah yang tidak cocok atau dehidrasi  berat.
b.    Gagal ginajl kronik adalah kondisi progresif parah karena penyakit yang mengakibatkan kerusakan parenkim ginjal, seperti glomerulonefritis kronik atau pielonefritis, trauma, atau diabetes nefropati (penyakit ginjal akibat diabetes melitus). Penyakit ini diobati melalui hemodialisis atau transplantasi ginjal (Sloane, 2004).



2.2 Glomerulonefritis Akut  (GNA)

2.2.1 Pengertian Glomerulonefritis Akut (GNA)
Glomerulonefritis akut adalah suatu peradangan pada glomerulus yang menyebabkan hematuria (darah dalam air kemih), dengan gumpalan sel darah merah dan proteinuria (protein dalam air kemih) (Novita, 2009). Glomerulonefritis akut seringkali terjadi akibat respon imun terhadap toksin bakteri tertentu (kelompok streptokokus beta A) (Sloane, 2004).







2.2.2 Faktor Etiologi
Glomerulonefritis
akut dapat timbul setelah suatu infeksi oleh streptokokus. Kasus seperti ini disebut glomerulonefritis pasca streptokokus. Glomerulus mengalami kerusakan akibat penimbunan antigen dari gumpalan bakteri streptokakus yang mati dan antibodi yang menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus selaput glomerulus dan mempengaruhi fungsinya. Glomerulonefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi. Glomerulonefritis pasca streptokokus paling sering terjadi pada anak-anak diatas 3 tahun dan dewasa muda (Mansjoer, A., dkk., 1999).

2.2.3 Sistem Imun
Tugas sistem imun adalah mencari dan merusak  invaderyang membahayakan tubuh manusia. Sel imun terdapat dalam darah, khususnya di leukosit (Fatmah, 2006).
Bila sistem imun mengalami gangguan, akan menyerang dan menghancurkan jaringan tubuh yang sehat. Gangguan  ini disebut gangguan atau penyakit autoimun. Gangguan autoimun adalah suatu  kondisi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang dan menghancurkan  jaringan sehat. Pasien dengan gangguan autoimun, sistem kekebalannya tidak bisa membedakan antara jaringan tubuh yang sehat dan antigen.Hasilnya adalah resposn imun yang merusak jaringan tubuh normal.Ini adalah reaksi hipersensitivitas mirip dengan respon di alergi (Hermawan, 2010).
Pada kelainan glomerulus berupa glomerulonefritis akut menunjukkan proses imunologis memegang peran penting dalam mekanisme penyakit tersebut. Respon imun yang berlebihan dari sistem imun penjamu pada stimulus antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan terbentuknya kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada membran basal glomerulus. Disini terjadi aktivasi sistem komplemen yang melepas substansi yang akan menarik neutrofil. Enzim lisosom yang dilepas neutrofil merupakan faktor responsif untuk merusak glomerulus. Selain dari pada itu neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus akan mengubah IgG endogen menjadi autoantigen. Terbentuknya auto antibodi terhadap IgG yang berubah tersebut., mengakibatkan pembentukan kompleks imun yang bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal (Sondang, 2003).

2.2.4 Manifestasi Klinis
Sekitar 50% penderita tidak menunjukkan gejala. Jika ada gejala, yang pertama kali muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema), berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena mengandung darah. Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai. Dapat pula timbul gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi atau diare (Mansjoer, A., dkk., 1999).

2.2.5 Rencana Perawatan
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di glomerulus.
a.    Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlak selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
b.    Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksilin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
c.    Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.
d.   Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sejatinva untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
e.    Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan adakalanya menolong juga (Wahab, A. Samik, 2000).

2.3 Hubungan Sistem Urianaria dengan Gigi dan Mulut

Fokal infeksi adalah terjadinya infeksi di dalam tubuh dengan tempat masuk bakteri  yang jauh dari tempat terjadinya infeksi. Infeksi pada gusi dapat menyebar ke jaringan tubuh lain salah satunya ginjal. Penyebab utama infeksi pada gusi serta jaringan pendukung gigi lainnya adalah mikroorganisme yang berkumpul di permukaan gigi (plak bakteri).Plak bakteri yang telah lama melekat pada gigi dan jaringan gusi dapat mengalami kalsifikasi (mengeras) sehingga menjadi kalkulus (karang gigi) yang biasanya tertutup lapisan lunak bakteri. Bila sudah mengalami
kalsifikasi (karang gigi) maka pembersihannya sudah tidak dapat menggunakan
sikat gigi tetapi harus  melalui pembersihan mekanis oleh dokter gigi (Syaifudin,2006).


Teori fokal infeksi pada dasarnya tidak lepas dari adanya patogenik mikrobial yang berkembang biak di satu tempat yang pada akhirnya menyebar ke bagian tubuh lainnya, apabila kondisi memungkinkan. Infeksi mikroba ini dari jenis streptococcus terutama s. viridians  dan haemoliticus. Pusat penyebaran infeksi terletak pada satu jaringan yang berisi bakteri patogen yang umumnya tidak menunjukkan manifestasi klinik, sedangkan bila fokus infeksi terletak pada rongga mulut maka perhatian kita ditujukkan pada jaringan yang mengalami kematian dan jaringan periodontal beserta deposit oral terutama plak yang penuh dengan koloni bakteri (Kusumawardani, 2011).
Bakteri patogen (perusak) yang melekat ke permukaan gigi di sekitar gusi untuk jangka waktu yang cukup lama, membuat jaringan gusi terpapar produk toksin (racun) bakteri tersebut. Saat jaringan gusi terpapar toksin (racun) bakteri maka tubuh membaca hal tersebut sebagai antigen yang merangsang antibodi dalam tubuh kita untuk membentuk kompleks antigen-antibodi. Dalam keadaan normal, kompleks antigen-antibodi tersebut dimusnahkan dan selanjutnya hilang dari sirkulasi darah.Namun, pada keadaan tertentu adanya kompleks imun dalam sirkulasi dapat mengakibatkan berbagai kelainan dalam organ tubuh yang disebut penyakit kompleks imun (Syaifuddin, 2006).
Penyakit kompleks imun ini disebabkan oleh endapan kompleks imun pada organ spesifik salah satunya ginjal. Kompleks imun ini dapat mengendap pada kapiler glomerulus pada ginjal yang dapat menyebabkan kerusakan pada glomerulus (Glomerulonefritis). Untuk mencegah terjadinya fokal infeksi tersebut, maka kita harus memperhatikan kebersihan rongga mulut kita sehingga tidak menyebabkan penyebaran infeksi ke jaringan tubuuh yang lain (Syaifuddin, 2006)

Biasanya kuman yang sering terdapat pada penyakit ini adalah streptoccocus viridans, disamping beberapa macam lainnya yang tumbuh subur dalam rongga mulut. Radang gusi dan jaringan pendukung gigi merupakan suatu faktor resiko bagi penyakit sistemik (Kusumawardani, 2011).

Biomat gooo
Tmj (Temporo Madibular Joint ) gooo
biomat bab 4 gooo

No comments:

Post a Comment