BAB I
TINJAUAN
PUSTAKA
|
2.1
Sistem Urinaria
2.1.1 Pengertian Sistem Urinaria
Sistem urinaria adalah
sistem dimana urin sebagai zat sisa dalam tubuh di eksresikan keluar tubuh
(Martini, 2009).
Sistem urinaria terdiri dari organ-organ yang memproduksi urin dan
mengeluarkannya dari tubuh. Sistem ini
merupakan salah satu sistem utama untuk mempertahankan hemostatis (kekonstanan
lingkungan internal) (Sloane, 2004).
2.1.2 Struktur Sistem Urinaria dan Fungsinya
2.1.2.1 Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen,
terutama di daerah lumbal, di sebelah kanan dan kiri tulang belakang, di
bungkus lapisan lemak yang tebal, di belakang peritoreum, dan karena itu di
luar rongga peritoneum
Kedudukan ginjal dapat diperkirakan dari belakang, mulai
dari ketinggian vertebrataterokalis terakhir sampai lumbalis ketiga.Ginjal
kanan lebih sedikit lebih rendah dari kiri, karena hati menduduki banyak ruang
di sebelah kanan (Pearce, 2010).
Setiap ginjal panjangnya 6-7.5 sentimeter, dan tebal
1,5 sampai 2,5 cm. Pada orang dewasa beratnya sekitar 140 gram (Pearce, 2010).
Fungsi
ginjal :
1. Pengeluaran
zat sisa organik, ginjal mengeksresi urea, asam urat, kreatinin, dan produk pengurasian
hemoglobin dan hormon.
2. Pengaturan
konsentrasi ion-ion penting, ginjal mengeksresi ion natrium, kalsium,
magnesium, sulfat, dan fosfat.
3. Pengaturan
keseimbangan asam basa tubuh, ginjal mengendalikan eksresi ion hidrogen,
bikarbonat, dan amonium serta memproduksi urine asam basa bergantung pada
kebutuhan tubuh.
4. Pengaturan
produksi sel darah merah, ginjal melepas eritropoletin yang mengatur produksi
sel darah merah dalam sumsum tulang.
5. Pengaturan
tekanan darah, ginjal mengatur volume cairan yang esensial bagi pengaturan
tekanan darah, dan juga memproduksi enzim renin, renin adalah komponen penting
dalam mekanisme renin angiotensin-aldosteron yang meningkatkan tekanan darah
dan retensi air.
6. Pengendalian
terbatas terhadap konsentrasi glukosa darah dan asam amino darah, ginjal
melalui eksresi glukosa dan asam amino berlebih, bertanggung jawab atas
konsentrasi nutrien dalam darah.
7. Pengeluaran
zat beracun, ginjal mengeluarkan polutan zat tambahan makanan, obat-obatan,
atau zat kimia asing lain dari tubuh.
v Struktur
internal ginjal
1. Hilus
Hilus atau hilum adalah
tingkat kecekungan tepi medial ginjal.
2. Sinus
Ginjal
Merupakan rongga berisi
lemak yang membuka pada hilus. Sinus ini membentuk perlekatan untuk jalan masuk
dan keluar ureter, vena dan arteri renalis, saraf dan limfatik.
3. Pelvis
Ginjal
Merupakan perluasan
ujung proksimal ureter. Ujung ini berlanjut menjadi dua sampai tiga kaliks
mayor. Yaitu rongga yang mencapai glandular, bagian penghasil urine pada
ginjal. Setiap kaliks mayor bercabang menjadio beberapa (8 sampai 18) kaliks
minor.
4. Parenkim
Ginjal
Merupakan jaringan
ginjal yang menyelubungi struktur sinus ginjal. Jaringan ini terbagi menjadi
medula dalam dan korteks luar. Medula terdiri dari massa-massa triangular yang
disebut piramida ginjal. Korteks tersusun dari tubulus dan pembuluh darah
nefron yang merupakan unit struktural dan fungsional ginjal (Sloane, 2004).
v Struktur
Nefron
1) Glomerulus
Bagian
ini mengandung anyaman kapiler yang terleta didalam kapsul bowman
dan menerima darah dari arteriola aferen dan meneruskan darah ke sistem vena
melalui arterior aferen. Glomerulus berdiameter 200 mm, dibentuk oleh
invagiansi suatu anyaman kapiler yang menempati kapsula bowman dimana cairan
difiltrasikan.
Glomerulus
dan kapsul bowman bersama- sama membentuk sebuah korpuskel ginjal. Lapisan
viseral kapsula bowman adalah lapisan internal epitelium. Sel-sel lapisan
viseral dimodifikasi menjadi podosit (sel seperti kaki), yaitu sel-sel epitel
khusus disekitar kapiler glomerular. Setiap sel podosit melekat pada permukaan
luar kapiler glomerular melalui beberapa prosesus primer panjang yang mengandung
prosesus sekunder yang disebut prosesus kaki atau pedikel (kaki kecil). Pedikel
saling mengunci dengan prosesus yang sama dari podosit tetangga. Ruang sempit
antar pedikel-pedikel yang berinterdigitasi disebut filtration slits (pori-pori
dari celah) yang lebarnya sekitar 25 nm. Setiap pori dilapisi membran tipis
yang memungkikan aliran beberapa molekul dan menahan aliran molekul lainnya.
Barier filtrasi glomerular adalah barier jaringan yang memisahkan darah dalam
kpiler glomerular dari ruang dalam kapsul bowman.
Lapisan
parietal kapsul bowman membentuk tepi terluar korpuskel ginjal. Pada kutub
vaskular korpuskel ginjal, arteriola aferen masuk ke glomerulus dan arteriol
eferen keluar dari glomerulus. Pada kutub urinarius korpuskel ginjal,
glomerulus memfiltrasi aliran yang masuk ke tubulus kontortus proksimal.
2) Tubulus
kontortus proksimal
Panjangnya
mencapai 15 mm dan sangat berliku. Pada permukaan yang menghadap lumen tubulus
ini terdapat sel-sel epitelial kuboid yang kaya akan mikrovilus (brush border)
dan memperluas area permukaan lumen.
3) Ansa
henle
Tubulus
kontortus proksimal mengarah ke tungkai desenden ansa henle yang masuk kedalam
medula, membentuk lengkungan jepit yang tajam (lekukan), dan membalik keatas
membentuk tungkai asenden angsa henle.
4) Tubulus
kontortus distal
Juga
sangat berliku, panjangnya sekitar 5 mm dan membentuk segmen terakhir nefron.
Disepanjang jalurnya tubulus ini bersentuhan dengan dinding arteriol aferen.
Bagian tubulus yang bersentuhan dengan arteriol mengandung sel-sel termodifikasi
yang disebut macula densa. Macula densa berfungsi sebagai suatu kemoreseptor
dan distimulasi oleh penurunan ion natrium. Dinding arteriol aferen yang
bersebelahan dengan macula densa mengandung sel-sel otot polos yang
termodifikasi yang disebut sel jukstaglomerular. Sel ini distimulasi melalui
penurunan tekanan darah untuk memproduksi renin. Macula densa, sel
jukstaglomerular, dan sel mesangium saling bekerjasama untuk membentuk aparatus
jukstaglomerular yang penting dalam pengaturan tekanan darah.
5) Tubulus
pengumpul
Karena
setiap tubulus pengumpul berdesenden di korteks, maka tubulus tersebut akan
mengalir kesejumlah tubulus kontortus distal. Tubulus kontortus distal
membentuk duktus pengumpul besar yang lurus.
Duktus pengumpul membentuk tuba yang lebih besar yang mengalirkan urine
kedalam kaliks minor. Kaliks minor bermuara pada pelvis ginjal, urine diarahkan
ke ureter yang mengarah ke kandung kemih (Sloane, 2004).
2.1.2.2 Ureter
Terdapat dua ureter berupa dua pipa saluran yang
masing-masing bersambung dengan ginjal dan dari ginjal berjalan ke kandung kemih. Tebal setiap ureter kira-kira setebal
tangkai bulu angsa dan panjangnya 35-40cm. Terdiri atas dinding luar yang
fibrous,lapisantengah yang berotot dan lapisan mukosa sebelah dalam. Ureter mulai
sebagai pelebaran hidung ginjal dan berjalan ke bawah melalui rongga abdomen
masuk ke dalam pelvis dan dengan arah bolak-balik bermuara ke dalam sebelah posterior
kandung kemih.Fungsi ureter adalah menyalurkan urin dari
ginjal ke kandung kemih (Pearce
C. Evelyn,
2011).
2.1.2.3 Kandung Kemih
Kandung kemih
bekerja sebagai penampung urin, organ ini berbentuk buah pir (kendi).Letaknya
di dalam panggul besar,didepan isi lainnya dan di belakang sinfisis kubis. Pada
bayi letaknya lebih tinggi.Bagian terbawah terpancang erat dan disebut basis,
bagian atas atau fundus naik kalau kandung memekar atau mengembang karena urin.
Puncaknya atau apeks
mengarahke depan bawah dan ada di belakang sinfisis kubis(Pearce C. Evelyn, 2011).
Menurut Evelyn (2011), dinding kandung kemih terdiri atas:
1. Sebuah lapisan serus sebelah luar
2. Lapisan berotot
3.Lapisan sub mukosa
4. Lapisan mukosa dari epithelium
transisional (peralihan).
Fungsi kandung kemih adalah untuk menampung urin yang disalurkan ureter dari ginjal (Pearce
C. Evelyn,
2011).
2.2.2.4 Uretra
Uretra
ialah sebuah saluran yang berjalan dari leher kandung kemih ke luar, dilapisi membran mukosa yang
bersambung dengan membran yang melapisi kandung kemih.Meatus urinalis terdiri dari serabut
otot lingkar, yang membentuk spinter uretra. Pada wanita panjang uretra adalah
2,5-3,5 cm. Dan padapria 17-22 cm. Fungsi uretra adalah mengeluarkan urin dari kandung
kemih (Pearce C. Evelyn, 2011).
2.1.3 Fisiologi Pembentukan Urin
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis
masuk kedalam ginjal, darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah
dan bagian plasma darah.
Ada
3 tahap pembentukkan urin,
yaitu:
a. Proses
Filtrasi
Proses filtrasi terjadi
di glomerolus, proses ini terjadi karena permukaan aferent lebih besar dari
permukaan eferent maka terjadi penyerapan darah, sedangkan yang tersaring
adalah bagian cairan darah kecuali protein, cairan yang tersaring ditampung
oleh sampai bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat,
bikarbonat dan lain-lain, kemudian diteruskan di tubulus ginjal (Sloane, 2004).
b. Proses
Reabsorpsi.
Pada
proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium,
klorida, fosfat,
dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan
obligator reabsorbsi
terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi
kembali penyerapan dan sodium dan ion bikarbonat, bila diperlukan akan diserap
kembali kedalam tubulus bagian bawah, penyerapannya terjadi secara aktif
dikenal dengan reabsorbsi
fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.
c. Proses
Sekresi
Pada proses sekresi, sisa penyerapan kembali
yang terjadi pada tubulus dan diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan
keluar (Sloane, 2004).
2.1.4 Komposisi Urin
a.
Zat buangan nitrogen
meliputi urea dari deaminasi protein, asam urat dari katabolisme asam nukleat,
dan kreatin dari proses penguratan kreatin fosfat dalam jaringan otot.
b. Asam
hipurat adalah produk sampingan pencernaan sayuran dan buah.
c. Badan
keton yang dihasilkan dalam metabolisme
lemak adalah konstitusien normal dalam jumlah kecil.
d. Elektrolit
meliputi ion natrium, klor, kalium, amonium, sulfat, fosfat, kalsium, dan
magnesium.
e. Hormon
atau katabolit hormon ada secara normal dalam urin.
f. Berbagai
jenis taksin atau zat kimia asing, pigmen, vitamin, atau enzim secara normal
ditemukan dalam jumlah kecil.
g. Konstituen
abnormal meliputi albumin, glukosa, sel darah merah, sejumlah besar badan
keton, zat kapur (terbentuk saat zat mengeras dalam tubulus dan dikeluarkan), dan batu ginjal
atau kalkuli (Sloane, 2004).
2.1.5
Sifat Fisik Urin
Secara umum, sifat fisik urine yang tampak dan relatif
mudah diobservasi meliputi : warna, bau, pH (alkalinitas), berat jenis, dan
volume rata-ratanya.
a. Warna
Urine normal berwujud encer berwarna kuning pucat.
Warnanya berubah-ubah dengan jumlah dan konsentrasi urine yang dikeluarkan.
Urine segar biasanya jernih dan menjadi keruh jika didiamkan. Pigmen utamanya
adalah urokrom, tetapi juga terdapat sejumlah kecil urobilin dan hematoporfin.
Saat demam, terjadi pemekatan urine, urine menjadi kuning tua hingga
kecoklatan.
b. Bau
Urine memiliki bau yang khas dan cenderung berbau amonia
jika didiamkan. Bau ini dapat bervariasi sesuai dengan makanan yang dikonsumsi,
misalnya : aspargus memberikan bau metil merkaptan, pada ketosis ditemukan bau
aseton.
c. Alkalinitas (pH)
Urin normal cenderung asam dengan pH ntara 4,8 – 7,5
(<6). Tingkat keasaman urine bergantung pada asupan protein. Kelebihan
fosfat dan sulfat yang dihasilkan dalam katabolisme protein, asidosis, dan
kondisi demam dapat meningkatkan keasaman urine.
d. Berat jenis
Berkisar antara 1,003–1,030 dan bervariasi menurut
konsentrasi zat yang terlarut dalam urine.
e. Volume
Pada orang dewasa normal, 600–2500 ml urine dibentuk tiap
harinya. Jumlah ini tergantung pada konsumsi air, suhu luar, makanan, dan
kondisi fisik. Volume urine berkurang saat musim panas karena pengeluaran urine
berbanding terbalik dengan pengeluaran keringat. Urine yang dibentuk selama
tidur kira-kira setengah dari jumlah urine yang dibentuk selama aktivitas (William, 2002).
2.1.6 Syaraf yang Mempengaruhi Sistem Urinaria
Kandung kemih mendapat persyarafan utama dari syaraf-syaraf pelvis, yang berhubungan dengan
medulla spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhubungan dengan segmen
S-2 dan S-3 dari medulla spinalis.Perjalanan melalui syaraf pelvis terdapat dalam 2 bentuk
persyarafan yaitu serabut syaraf
sensorik dan syaraf
motorik.Serabut sensorik mendeteksi derajat regangan dalam dinding kandung
kemih.Sinyal – sinyal regangan khususnya dari uretra posterior merupakan sinyal
yang kuat dan terutama berperan untuk memicu refleks pengosongan kandung kemih.
Persyarafan motorik yang dibawa dalam syaraf-syaraf pelvis merupakan serabut
parasimpatis.Syaraf
ini berakhir di sel ganglion yang terletak di dalam dinding kandung kemih.
Kemudian syaraf-syaraf postganglionic
yang pendek akan mempersyarafi
otot detrusor.
Selain syaraf
pelvis, terdapat dua jenis persyarafan lain yang penting untuk mengatur fungsi
kandung kemih. Yang paling penting adalah serabut motorik skeletal yang dibawa
melalui syaraf
pudensus ke sfingter eksterna kandung kemih.Syaraf ini merupakan serabut syaraf somatik yang mempersyarafi dan mengatur otot rangka volunter
pada sfinger tersebut.Kandung kemih juga mendapatkan persyarafan simpatis dari
rangkaian simpatis melalui syaraf-syaraf hipogastrik, yang terutama
berhubungan dengan segmen L-2 dari medulla spinalis. Serabut simpatis ini
terutama merangsang pembuluh darah dan memberi sedikit efek terhadap proses
kontraksi kandung kemih. Beberapa serabut sayraf sensorik juga berjalan melalui
persyarafan simpatis dan mungkin penting untuk sensasi rasa penuh dan nyeri (Guyton dan Hall, 2008).
2.1.7 Hormon yang Mempengaruhi Sistem Urinaria
Ada suatu sistem
umpan balik yang kuat untuk mengatur osmolaritas plasma dan konsentrasi
natrium, yang bekerja dengan cara mengubah ekskresi air oleh ginjal, dan tidak
bergantung pada kecepatan ekskresi zat terlarut. Pelaku utama
dari sistem umpan balik ini adalah hormon antidiuretik (ADH), yang juga disebut
vasopressin.
Bila osmolaritas cairan tubuh meningkat diatas
normal (yaitu zat terlarut dalam cairan tubuh menjadi terlalu pekat), kelenjar
hipofisis posterior akan menyekresi lebih banyak ADH, yang meningkatkan
permeabilitas tubulus distal dan duktus koligentes terhadap air. Keadaan ini
memungkinkan terjadinya reabsorpsi air dalam jumlah besar dan penurunan volume
urin tetapi tidak mengubah kecepatan ekskresi zat terlarut oleh ginjal secara
nyata.
Bila terdapat kelebihan air didalam tubuh dan
osmolaritas cairan eksternal menurun, sekresi ADH oleh hipofisis posterior akan
menurun oleh sebab itu, permeabilitas tubulis distal dan duktus kolegentes
terhadap air akan menurun, yang menghasilkan sejumlah besar urin encer. Jadi kecepatan sekresi ADH sangat
menentukan encer atau pekatnya urin yang akan dikeluarkan oleh ginjal (Guyton dan Hall, 2008).
2.1.8 Gangguan Sistem Urinaria
1. Sistitis,
adalah inflamasi kandung kemih.
Inflamasi ini dapat disebabkan oleh infeksi bakteri (biasanya Eschericia coli) yang menyebar dari
uretra atau karena respon alergi atau akibat iritasi mekanis pada kandung
kemih. Gejalanya adalah sering berkemih dan nyeri ( disuria) yang disertai
darah dalam urin (hematuria).
2. Glomerulonefritis
adalah inflamfsi nefron, terutama pada glomerulus.
a. Glomerulonefritis
akut, seringkali terjadi akibat respon imun terhadap toksin bakteri tertentu (
kelompok Streptococcus beta A).
b. Glomerulonefritis
kronik, tidak hanya merusak glomerulus tetapi juga tubulus. Inflamasi ini
mungkin diakibatkan infeksi Streptococcus,
tetapi juga merupakan akibat sekunder dari penyakit sistemik lain atau karena
glomerulonefritis akut.
3. Pielonefritis
adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal akibat infeksi bakteri. Inflamasi
dapat berawal di traktus urinaria bawah ( kandung kemih) dan menyebar ke
ureter, atau karena infeksi yang dibawa darah dan limfe ke ginjal. Obstruksi
traktus urinaria terjadi akibat pembesaran kelenjar prostat, batu ginjal, atau
defek kongenital yang memicu terjadinya
piolenefritis.
4. Batu
ginjal (kalkuli urinaria), terbentuk dari pengendapan garam kalsium, magnesium,
asam urat, atau sistein. Batu-batu kecil dapat mengalir bersama urin, batu yan
g lebih besar akan tersangkut dalam ureter dan menyebabkan rasa nyeri dan tajam
(kolik ginjal) yang menyebar dari ginjal ke selangkangan.
5. Gagal
ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Hal ini mengakibatkan terjadinya retensi
garam, air, zat buangan nitrogen ( urea dan kreatinin) dan penurunan drastis
volume urin (oliguria).
a. Gagal
ginjal akut terjadi secara tiba-tiba dan biasanya berhasil diobati. Penyakit
ini ditandai dengan oliguria mendadak yang diikuti dengan penghentian prokduksi
urin (anuria) secara total. Hal ini disebabkan oleh penurunan aliran darah ke
ginjal akibat trauma atau cedera, glomerulonefritis akut, hemoragi, transfusi
darah yang tidak cocok atau dehidrasi
berat.
b. Gagal
ginajl kronik adalah kondisi progresif parah karena penyakit yang mengakibatkan
kerusakan parenkim ginjal, seperti glomerulonefritis kronik atau pielonefritis,
trauma, atau diabetes nefropati (penyakit ginjal akibat diabetes melitus).
Penyakit ini diobati melalui hemodialisis atau transplantasi ginjal (Sloane,
2004).
2.2
Glomerulonefritis Akut (GNA)
2.2.1
Pengertian Glomerulonefritis Akut (GNA)
Glomerulonefritis
akut adalah suatu peradangan pada glomerulus yang menyebabkan hematuria (darah
dalam air kemih), dengan gumpalan sel darah merah dan proteinuria (protein
dalam air kemih) (Novita, 2009). Glomerulonefritis akut seringkali terjadi akibat
respon imun terhadap toksin bakteri tertentu (kelompok streptokokus beta A)
(Sloane, 2004).
2.2.2 Faktor Etiologi
Glomerulonefritis
akut dapat timbul setelah suatu infeksi oleh streptokokus. Kasus seperti ini disebut glomerulonefritis pasca streptokokus. Glomerulus mengalami kerusakan akibat penimbunan antigen dari gumpalan bakteri streptokakus yang mati dan antibodi yang menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus selaput glomerulus dan mempengaruhi fungsinya. Glomerulonefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi. Glomerulonefritis pasca streptokokus paling sering terjadi pada anak-anak diatas 3 tahun dan dewasa muda (Mansjoer, A., dkk., 1999).
akut dapat timbul setelah suatu infeksi oleh streptokokus. Kasus seperti ini disebut glomerulonefritis pasca streptokokus. Glomerulus mengalami kerusakan akibat penimbunan antigen dari gumpalan bakteri streptokakus yang mati dan antibodi yang menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus selaput glomerulus dan mempengaruhi fungsinya. Glomerulonefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi. Glomerulonefritis pasca streptokokus paling sering terjadi pada anak-anak diatas 3 tahun dan dewasa muda (Mansjoer, A., dkk., 1999).
2.2.3 Sistem Imun
Tugas sistem imun
adalah mencari dan merusak invaderyang membahayakan tubuh manusia.
Sel imun terdapat dalam darah, khususnya di leukosit (Fatmah, 2006).
Bila sistem imun mengalami gangguan, akan menyerang dan
menghancurkan jaringan tubuh yang sehat. Gangguan ini disebut gangguan atau penyakit autoimun.
Gangguan autoimun adalah suatu kondisi
yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang dan
menghancurkan jaringan sehat. Pasien
dengan gangguan autoimun, sistem kekebalannya tidak bisa membedakan antara
jaringan tubuh yang sehat dan antigen.Hasilnya adalah resposn imun yang merusak
jaringan tubuh normal.Ini adalah reaksi hipersensitivitas mirip dengan respon
di alergi (Hermawan, 2010).
Pada kelainan glomerulus berupa glomerulonefritis akut
menunjukkan proses imunologis memegang peran penting dalam mekanisme penyakit
tersebut. Respon imun yang berlebihan dari sistem imun penjamu pada stimulus
antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan terbentuknya
kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada membran basal glomerulus. Disini
terjadi aktivasi sistem
komplemen yang melepas substansi yang akan menarik neutrofil. Enzim lisosom
yang dilepas neutrofil merupakan
faktor responsif untuk merusak glomerulus. Selain dari pada itu neuraminidase
yang dihasilkan oleh streptokokus akan mengubah IgG endogen menjadi
autoantigen. Terbentuknya auto antibodi terhadap IgG yang berubah tersebut.,
mengakibatkan pembentukan kompleks
imun yang bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal (Sondang, 2003).
2.2.4 Manifestasi Klinis
Sekitar
50% penderita tidak menunjukkan gejala. Jika ada gejala, yang pertama kali
muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema), berkurangnya volume air kemih
dan air kemih berwarna gelap karena mengandung darah. Pada awalnya edema timbul
sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih
dominan di tungkai. Dapat pula timbul gejala gastrointestinal seperti muntah,
tidak nafsu makan, konstipasi atau diare (Mansjoer, A., dkk., 1999).
2.2.5 Rencana Perawatan
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi
penyembuhan kelainan di glomerulus.
a. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu.
Dulu dianjurkan istirahat mutlak selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal
untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi
penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat
buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
b. Pemberian penisilin pada fase akut.
Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis,
melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus
yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari,
sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap
kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara
teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain,
tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat
dikombinasi dengan amoksilin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika
alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari
dibagi 3 dosis.
c. Makanan. Pada fase akut diberikan
makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah garam (1 g/hari). Makanan
lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu
telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan
larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan
disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal
jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan
harus dibatasi.
d. Pengobatan terhadap hipertensi.
Pemberian cairan dikurangi, pemberian sejatinva
untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi
dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan
reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10
jam kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat,
0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena
memberi efek toksis.
e. Bila anuria berlangsung lama (5-7
hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah dengan beberapa cara
misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan
ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat
dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan
dan adakalanya menolong juga (Wahab, A. Samik, 2000).
2.3 Hubungan Sistem Urianaria dengan
Gigi dan Mulut
Fokal infeksi adalah terjadinya infeksi di dalam tubuh dengan
tempat masuk bakteri yang jauh dari
tempat terjadinya infeksi. Infeksi pada gusi dapat menyebar ke jaringan tubuh
lain salah satunya ginjal. Penyebab utama infeksi pada gusi serta jaringan
pendukung gigi lainnya adalah mikroorganisme yang berkumpul di permukaan gigi
(plak bakteri).Plak bakteri yang telah lama melekat pada gigi dan jaringan gusi
dapat mengalami kalsifikasi (mengeras) sehingga menjadi kalkulus (karang gigi)
yang biasanya tertutup lapisan lunak bakteri. Bila sudah mengalami
kalsifikasi (karang gigi) maka pembersihannya sudah tidak dapat menggunakan
sikat gigi tetapi harus melalui pembersihan mekanis oleh dokter gigi
(Syaifudin,2006).
Teori fokal infeksi pada dasarnya tidak lepas dari adanya patogenik
mikrobial yang berkembang biak di satu tempat yang pada akhirnya menyebar ke bagian
tubuh lainnya, apabila kondisi memungkinkan. Infeksi mikroba ini dari jenis streptococcus terutama s. viridians dan haemoliticus. Pusat penyebaran infeksi
terletak pada satu jaringan yang berisi bakteri patogen yang umumnya tidak
menunjukkan manifestasi klinik, sedangkan bila fokus infeksi terletak pada
rongga mulut maka perhatian kita ditujukkan pada jaringan yang mengalami
kematian dan jaringan periodontal beserta deposit oral terutama plak yang penuh
dengan koloni bakteri (Kusumawardani, 2011).
Bakteri patogen (perusak) yang melekat ke
permukaan gigi di sekitar gusi untuk jangka waktu yang cukup lama, membuat
jaringan gusi terpapar produk toksin (racun) bakteri tersebut. Saat jaringan
gusi terpapar toksin (racun) bakteri maka tubuh membaca hal tersebut sebagai
antigen yang merangsang antibodi dalam tubuh kita untuk membentuk kompleks
antigen-antibodi. Dalam keadaan normal, kompleks antigen-antibodi tersebut
dimusnahkan dan selanjutnya hilang dari sirkulasi darah.Namun, pada keadaan
tertentu adanya kompleks imun dalam sirkulasi dapat mengakibatkan berbagai
kelainan dalam organ tubuh yang disebut penyakit kompleks imun (Syaifuddin,
2006).
Penyakit kompleks imun ini disebabkan oleh
endapan kompleks imun pada organ spesifik salah satunya ginjal. Kompleks imun
ini dapat mengendap pada kapiler glomerulus pada ginjal yang dapat menyebabkan
kerusakan pada glomerulus (Glomerulonefritis). Untuk mencegah terjadinya fokal
infeksi tersebut, maka kita harus memperhatikan kebersihan rongga mulut kita
sehingga tidak menyebabkan penyebaran infeksi ke jaringan tubuuh yang lain
(Syaifuddin, 2006)
Biasanya kuman yang sering terdapat
pada penyakit ini adalah streptoccocus
viridans, disamping beberapa macam lainnya yang tumbuh subur dalam rongga
mulut. Radang gusi dan jaringan pendukung gigi merupakan suatu faktor resiko
bagi penyakit sistemik (Kusumawardani, 2011).
Biomat gooo
Tmj (Temporo Madibular Joint ) gooo
biomat bab 4 gooo
Biomat gooo
Tmj (Temporo Madibular Joint ) gooo
biomat bab 4 gooo
No comments:
Post a Comment